Potret Penduduk dan Nasib Lapisan Ozon O3

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, berdasarkan data United Nations (PBB) tahun 2009 jumlah populasi Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia setalah USA. Saat ini total populasi Indonesia kian meningkat, berdasarkan data hasil Sensus Penduduk 2010 menyebutkan bahwa jumlah total populasi penduduk Indonesia mengikuti sebaran penduduk eksponensial, yaitu sekitar 236,56 juta jiwa dengan proporsi 119,51 juta jiwa untuk populasi laki-laki dan 118,05 juta jiwa papulasi perempuan. Secara squensial, perjalanan laju trend populasi penduduk Indonesia sejak tahun 1930-an sampai tahun 2010 terlihat cukup normal, namun terus mengalami peningkatan. Tidak hanya teropong populasi Indonesia, sama halnya dengan jumlah penduduk dunia secara agregat berdasarkan data PBB pula mendeskripsikan komparasi jumlah penduduk semakin pesat yang terjadi pada tahun 2009 sebesar 6.829 juta jiwa. Dengan menggunakan pola laju pertumbuhan masing-masing negara dapat dilihat bahwa proyeksi jumlah penduduk dunia meningkat sekitar 2.000 juta jiwa lebih pada tahun 2025 dan 3.000 juta jiwa lebih di tahun 2050 diukur terhadap tahun 2009. Dimana, China masih memimpin dengan jumlah penduduk terbanyak sampai proyeksi tahun 2025, namun pada proyeksi tahun 2050 India diestimasikan akan mengalahkan China dengan populasi penduduk terbanyak sebesar 13,9 % dari proyeksi penduduk China dan ini mengindikasikan taraf keberhasilan China dalam mencapai target penurunan jumlah penduduk melalui program One Child Policy.
Sejalan dengan peningkatan penduduk bumi ini, tentunya berimbas terhadap variasi kegiatan manusia. Dimana, kegiatan manusia menghasilkan berbagai dampak lingkungan berupa polusi atau secara umum menimbulkan deplesi dan degredasi lingkungan. Kegiatan industri rumah tangga, pabrik, tambang dan kendaraan bermotor misalnya, yang paling banyak dalam menyumbang pencemaran terhadap udara. Sementara itu, semakin hari stok gas Oksigen atau O2 semakin menipis oleh karena berkurang dan rusaknya berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, terutama hutan akibat kegiatan tersebut. Hal ini merupakan sebuah ancaman masa depan jika jumlah populasi hutan dan tumbuh-tumbuhan umumnya yang tidak mampu lagi menghasilkan Oksigen yang cukup bagi kehidupan mahluk hidup heterotrof, dalam hal ini manusia. Karena secara ilmiah dan biologis, jenis autotrof- lah yang mempunyai kemampuan menghasilkan gas Oksigen melalui proses respirasinya dengan asumsi bahwa komponen yang lain dikatakan relatif rendah sumbangsihnya terhadap stok Oksigen, misalnya plankton terutama fithoplankton. Sekilas mengerucutnya fenomena, peranan serta keadaan lingkungan akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat.
Berdasarkan apa yang terpaparkan sebelumnya, terlihat secara gamblang bahwa tidaklah mungkin pertumbuhan penduduk mampu menambah stok Oksigen yang tentu barangkali memerlukan uji statistik untuk membuktikannya. Terlepas dari hal itu, pastinya akan membuat hati merenung saat menengok situasi dan kondisi rata-rata suhu terutama suhu kerak Bumi Pertiwi ini, menurut data yang resmi dipublikasikan melalui situs NASA/ GISS tahun 2010 kemarin, bahwa dampak Global Warming mengalami laju peningkatan yang signifikan.

Berikut terlihat jelas, bahwa peningkatan suhu tahunan matahari semakin berefek ke semua belahan dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun 1885, wilayah cikal bakal negara Indonesia masih belum terimbas efek pemanasan suhu bumi, kemungkinan besar pada saat itu kondisi hutan masih dalam keadaan stabil dan masih belum terjadi destruksi hutan atau lingkungan, begitu pula karena pada saat itu keadaan populasinya yang masih sedikit dan masih konvensionalnya berbagai bentuk industri serta sistem feodal dalam pengolahan lahan yang juga tergolong tradisional, menyebabkan tingkat pencemaran masih belum dapat dikatakan berpengaruh signifikan. Suhu tahunan matahari mulai menginfeksi ke Indonesia pada tahun 1902-an (pra-kebangkitan Nasional), dimana rata-rata kenaikan suhu tersebut tampak di bagian barat-laut dan tengah wilayah Indonesia. Hal ini memungkinkan adanya sebuah hipotesis bahwa kegiatan ekstraksi hutan mulai terjadi, sehingga stok oksigen berkurang dan berdampak pemanasan terutama fenomena ekstraksi hutan di pulau Kalimantan dan Sumatra.

Keadaan itu terus berlanjut semasa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, di tahun 1945 tampak jelas bahwa peningkatan suhu kerak bumi negeri ini semakin meningkat signifikan. Memungkinkan munculnya hipotesis kedua bahwa keadaan politik, sosial dan ekonomi yang masih labil didukung oleh lemahnya sistem pengawasan kelembagaan dan institusi serta pada fragmen masyarakat sendiri, menyebabkan tindakan destruksi lingkungan terutama hutan yang semakin merajalela. Hal ini tampak bahwa cakupan wilayah yang mendapat efek peningkatan suhu bumi semakin meluas ke daerah Papua dan kepulauan Maluku. Ini hanyalah sebuah awal, ketika sebuah sistem dukung lingkungan alam yang diwarnai distorsi ternyata malah membudaya. Menyelam lebih jauh, pada masa gejolak klimaks negeri ini di tahun 1998, dimana siklus dan fluktuasi perekonomian terganggu, ketika saat dan kondisi psikologi kemasyarakatan terombang-ambing, begitu pula di bidang politik serta budaya yang tercoreng di kanca Internasional, suhu rata-rata tahunan matahari semakin tinggi saja. Tak terbendung lagi, jika menyatakan seluruh wilayah Indonesia mengalami dampak pemanasan tahunan matahari yang mungkin mampu mengindikasikan sebuah hipotesis ketiga.

Fenomena destruksi lingkungan alam apalagi hutan sudah membuat negeri ini merana dan merintih, melaju melirik rata-rata suhu tahunan matahari di tahun 2010 kemarin saja terlihat jelas bahwa tidak satu pun wilayah negeri ini yang tidak terkena dampak pemanasan. Dan ironisnya, efek pemanasan tersebut hampir menyelimuti seluruh permukaan bumi. Inikah teropong keadaan bumi, khususnya bumi pertiwi. Dapat menjadikan sebagai sebuah estimasi dan proyeksi, bagaimana suhu bumi 10-50 tahun ke depan dengan laju pertumbuhan penduduk, khususnya Indonesia yang semakin meningkat. Sebuah barometer yang menjadi jamrud katulistiwa yang terletak secara strategis, Indonesia dalam hal ini dapat dikatakan indikator efek pemanasan global karena dianggap sebagai paru-paru bumi karena hutannya yang berjumlah besar. Sebuah kerangka pikir mulai berjalan, ketika suhu naik pastilah berkurang organisme autotrof-nya, dalam hal ini adalah hutan. Namun, menjadi suatu pertanyaan jika revolver pupil mulai memfokus sejauh mata memandang alam.
Bila mata terfokus mengenai temperatur atau suhu rata-rata tahunan matahari utamanya, ketika itu pula sinanpsis akan mengartikan kepada akson dan dendrit, sel otak kiri serta otak kanan untuk merasakan apa yang terjadi dengan layer Ozon (O3) kala itu. Bagaimana dan mengapa suhu atau temperatur udara menjadi semakin panas, bahkan sepertinya manusia mulai kekurangan Oksigen untuk melakukan inspirasi dan respirasi. Sebuah bayangan saja, ketika 10 orang ditampung dalam sebuah ruangan kaca dengan ukuran yang hanya sebesar masing-masing badan mereka, kemudian ditutup dan diberi celah ventilasi sebesar masing-masing kepala mereka. Maka dapat dikomparasi, jika hal itu dilakukan pada saat ruangan diletakkan dibawah pohon rindang dan hijau dibandingkan saat ditaruh langsung dibawah terik matahari, tanpa tumbuhan hijau disekitarnya. Tentu meskipun diberi ventilasi yang cukup besar, tetapi jika hal itu berlangsung lama mungkin mengurangi sebuah nilai ekspektasi angka harapan hidup mereka. Inilah deskripsi indikasi terhadap nasib Ozon saat ini.
Ozon atau O3, seperti yang telah diketahui merupakan salah satu gas yang mendominasi layer atmosfer bumi. Fungsi dari Ozon sendiri adalah menyerap intensitas radiasi ultraviolet matahari, sehingga radiasi tersebut dipantulkan kembali ke segala arah agar tidak masuk dan langsung mengenai permukaan bumi atau korteks bumi. Kompleksitas fenomena kerusakan lapisan Ozon bukanlah sesuatu yang baru terjadi, namun telah didefinisikan sejak masa yang usang.
Merupakan faktualitas, bahwa kerusakan Ozon terjadi karena adanya zat-zat kimia yang mampu bereaksi, dan menguraikan Ozon menjadi zat (dalam hal ini gas) lain yang menghasilkan produk dengan kemampuan memfiltrasi radiasi ultraviolet matahari saat memasuki layer atmosfer bumi. Chloro Fluoro Carbon (CFC) misalnya, meskipun sering atau bahkan orang tidak mengerti akan efek kumulatifnya yang sangat membahayakan struktur Ozon, dimana O3 akan terurai menjadi O2 (Oksigen) dan O (Nascent/ gas awal) dan ini sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari manusia. Sebagai sekelumit contoh, pemakaian pengharum ruangan atau parfume. Hal tersebut terlihat sepele, namun setidaknya perlu untuk ditegaskan kembali kepada masyarakat pada umumnya. Selain itu, ancaman terberat stabilitas lapisan Ozon adalah akumulasi gas Carbon Dioxide CO2 yang sampai detik ini masih memberikan sumbangsih terbesar sebagai polutan. Hal ini juga memberikan dampak langsung terhadap komposisi lapisan Ozon, dimana CO2 mampu menimbulkan efek rumah kaca atau Green House Effect sebagaimana ilustrasi yang terdeskripsi sebelumnya. Dengan adanya efek rumah kaca ini, radiasi panas matahari yang sampai ke permukaan bumi tidak dapat dipantulkan kembali ke langit karena akumulasi dari gas CO2 akan membentuk sebuah layer seperti kaca, sehingga malah dipantulkan kembali ke permukaan bumi, begitulah seterusnya. Implikasinya, suhu bumi semakin tinggi, sementara hutan ataupun komponen autotrof semakin mengecil jumlahnya. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi temperatur bumi 70 tahun ke depan.

2 komentar:

Statistik Ceria 21 Januari 2012 pukul 22.02  

keren gan..
ane btuh belajr nih nulis sama agan..
nnti ane mohon bimbingannya ya.

Joko Ade Nursiyono 22 Januari 2012 pukul 17.59  

Insya Allah,..gan,..ikuti terus pola tulisan yang ane posting,.hehe,...yang penting agan juga sudah mengerti struktur penulisannya, pasti bisa dan yang paling penting memang sering baca literatur, gak cuma Statistik saja, bisa yang lain..

Posting Komentar